SENTABET - Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda
malam di lingkungan tempat tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam
ada satu grup terdiri dari tiga orang. Sebagai anak belia yang sudah
bekerja aku dapat giliran ronda pada malam minggu.
Pada suatu malam minggu aku giliran
ronda. Tetapi sampai pukul 23.00 dua orang temanku tidak muncul di pos
perondaan. Aku tidak peduli mau datang apa tidak, karena aku maklum
tugas ronda adalah sukarela, sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa.
Biarlah aku ronda sendiri tidak ada masalah.
Karena memang belum mengantuk, aku
jalan-jalan mengontrol kampung. Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah
penduduk. Pada waktu sampai di samping rumah Pak Tadi, aku melihat kaca
nako yang belum tertutup. Aku mendekati untuk melihat apakah kaca nako
itu kelupaan ditutup atau ada orang jahat yang membukanya. Dengan
hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi.
Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup
kaca nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku
mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga
baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar.
Kudekati pelan-pelan, dan darahku
berdesir, ketika ternyata itu suara orang bersetubuh dengan penuh
gairah. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi dan istrinya. Aku lebih
mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan
goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar.
“Ssshh… hhemm… uughh… ugghh, terdengar
suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu. Jelas itu suara
Bu Tadi yang ditindih suaminya.
Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok,
nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang vagina Bu Tadi dengan
penuh gairah. Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras
seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli
istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang cantik dan bahenol
itu.
“Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh….
ssshh..” terdengar suara Pak Tadi tersengal-sengal. Suara
kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Tadi
sudah ejakulasi dan pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam
vagina Bu Tadi. Selesailah sudah persetubuhan dengan penuh gairah itu,
aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut
dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi.
Sejak malam itu, aku jadi sering
mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya.
Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar
dari sela-sela kaca nako yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti
detektip partikelir yang mengamati kegiatan mereka di sore hari.
Biasanya pukul 21.00 mereka masih
melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke
kamar tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip
mereka. Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang
mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik
(barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur.
Tetapi apabila mereka masuk kamar,
bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu
Tadi yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah
dadanya oleh Pak Tadi), dapat dipastikan akan diteruskan dengan
persetubuhan. Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti
kecanduan dengan suara-suara Pak Tadi dan khususnya suara Bu Tadi yang
keenakan disetubuhi suaminya dengan penuh gairah.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti
biasa. Apabila aku bertemu Bu Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak
dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya
memang cantik, dan badannya padat berisi sesuai dengan seleraku.
Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus.
Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan
mungkin, karena Bu tadi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi
pasti jadi masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau
diusir dari kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata
aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh Bu Tadi.
Pada suatu hari aku mendengar Pak Tadi
opname di rumah sakit, katanya operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan
masih bujangan aku banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan
yang penting aku mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu
Tadi. Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit bersamaan dengan
adiknya Pak Tadi.
Sore itu, mereka sepakat Bu Tadi akan
digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, karena Bu Tadi sudah
beberapa hari tidak pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku.
Mereka setuju saja dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah
menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga itu.
Sehabis mahgrib aku bersama Bu Tadi
pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi.
Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk
berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan
kesempatan bagus sekali untuk mendekatai Bu Tadi.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik
Budi” jawab Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap
minggunya minmal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi
yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.
“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih.
Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi
ini lhoo”, kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.
“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah
buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa.
Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan
dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan
istri yang kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii
eeh nanti Bu Tadi marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”,
kubuat Bu Tadi penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Bu Tadi terus terang aku terobsesi
punya istri seperti Bu tadi. Aku benar-benar bingung dan seperti orang
gila kalau memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi
kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali
bu. aku sudah kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Tadi melongo,
memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya
mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman.
Kami berangkat pulang. Dalam mobil aku berpikir, ini sudah telanjur
basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad
kupegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku
memegang setir.
Di luar dugaanku, Bu Tadi balas meremas
tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada
kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku melambung,
melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan
macam-macam”, kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami
ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku
hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang.
Di rumah aku mencoba untuk tidur. Tidak
bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu
Tadi yang sekarang sendirian, hanya ditemani pembantunya yang tua di
kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Tadi.
Berani nggaak, berani nggak. Mengapa
nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah
keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar, aku
ketok pelan-pelan kaca nakonya, “Buu Tadi, aku Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi.
Mungkin Bu Tadi bangun dan takut. Bisa
juga mengira aku maling. “Aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik.
Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. “Lewat belakang!”
kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur.
Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup
kembali. Aku nggak tahan lagi, Bu Tadi aku peluk erat-erat, kuciumi
pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut dan mesra, penuh kerinduan.
Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.
“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku
dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman
lagi dengan penuh gairah. “Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”,
bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Gairah kami
semakin menggelora.
Aku ditariknya ke tempat tidur. Bu Tadi
membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan
empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas
pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak memakai
BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung. Aku nggak tahan
lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah
dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas.
Sementara tanganku merogoh kemaluannya
yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan
ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Dengan sigap aku melepaskan
sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang.
Bu Tadi segera menggenggamnya dan
dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya
geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu
Tadi, bertelekan pada sikut dan dengkulku. Kaki Bu Tadi dikangkangkannya
lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah
basah.
Digesek-gesekannya di bibir kemaluannya,
makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin dalam, semakin…
dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Tadi. Aku
turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku
dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos,
keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu dan gairah.
“Aduuh, Dik Budi, Dik Budii… enaak
sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Tadi sambil mendesis-desis.
Kupercepat lagi dengan penuh gairah. Suaranya vagina Bu Tadi
kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Dik Budiii aku mau muncaak…
muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar.
Aku percepat, dan penisku merasa akan
keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi sampai amblaas.
Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam
vagina Bu Tadi. Kami berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking
nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku melayang entah kemana.
Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah
sudah, aku merasa lemas sekali tetapi puas sekali. Kucabut penisku, dan
berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas kami. Tiada
kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari
kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu.
Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku
sendiri kan. Dengan siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku.
Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa
kali kami berhubungan dengan penuh gairah sampai aku kimpoi dengan
wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.
Keluarga Pak tadi sampai saat ini hanya
mempunyai satu anak perempuan yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu
Tadi sering menciumi anak itu, sementara matanya melirikku dan
tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada meledek Bu Tadi, mungkin waktu
hamil Bu Tadi benci sekali sama aku. Karena anaknya yang cantik itu
mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi,
hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku
dengan Bu Tadi istri tetanggaku yang cantik itu tetap berlanjut sampai
kini, walaupun aku telah berumah tangga. Namun dalam perkimpoianku yang
sudah berjalan dua tahun lebih, kami belum dikaruniai anak. Istriku
tidak hamil-hamil juga walaupun penisku kutojoskan ke vagina istriku
siang malam dengan penuh semangat.
Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu
seks dan gairah yang besar. Baru disentuh saja nafsunya sudah naik.
Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta
mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang tebal bulunya itu segera
digarap dengan penuh gairah.
Di mana saja, di kursi tamu, di dapur,
di kamar mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu dan ber
gairah, ya aku masukkan saja penisku ke vaginanya. Istriku juga dengan
penuh gairah menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat
melihat istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar
membuat hidupku penuh semangat dan gairah.
Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil
juga aku jadi agak kawatir. Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah
terbukti Bu Tadi hamil, dan anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak
kesayangan keluarga Pak Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat
fisik serta haidnya yang teratur, aku yakin istriku subur juga.
Apakah aku kena hukuman karena aku
selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah karena
dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena menyetubuhi Bu
Tadi itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka hubungan gelap
itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan
Bu Tadi, kami sepakat dengan membuat kode khusus yang hanya diketahui
kami berdua. Apabila Pak Tadi tidak ada di rumah dan benar-benar aman,
Bu Tadi memadamkan lampu di sumur belakang rumahnya. Biasanya lampu 5
watt itu menyala sepanjang malam, namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu
padam, berarti keadaan aman dan aku dapat mengunjungi Bu Tadi. (Anda
dapat meniru caraku yang sederhana ini.
Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang
makin mahal). Karena dari samping rumahku dapat terlihat belakang rumah
Bu Tadi, dengan mudah aku dapat menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah
tanda itu tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku
kadang-kadang jadi agak jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku
mengira juga Bu Tadi sudah bosan denganku.
Tetapi ternyata memang kesempatan itu
benar-benar tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu. Pada suatu
hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan seperti biasanya kami
saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, dia
berkata, “Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada acara
kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena
sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku.
Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan
perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun berdesir juga
membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.
Seperti biasa malam minggu adalah
giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh
curiga atau bertanya apa-apa kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah
bersiap untuk menemui Bu Tadi. Aku hanya memakai sarung, (tidak memakai
celana dalam) dan kaos lengan panjang biar agak hangat.
Dan memang kalau tidur aku tidak pernah
pakai celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih
rileks dan tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup
setelah seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu
belakang rumah Bu Tadi sudah padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu
untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah
yakin aman, aku menuju ke samping rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako
kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang.
Tidak berapa lama terdengar kunci
dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup
kembali. Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar
tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan
berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami dengan penuh gairah.
Kami sangat menikmati kemesraan itu,
karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan
untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di
pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra,
Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya
disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”,
katanya lirih. Bu Tadi sekarang kalau sedang bermesraan atau bersetubuh
memanggilku Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya
Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi menghayati betul bahwa Nia, anaknya
yang cantik itu bikinan kami berdua.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah
tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya
secara fisik, kami tidak ada masalah. Aku jelas bisa bikin anak,
buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga.
Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak
melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk
membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan
mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami
kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali.
Untukku sih memang seharusnya bapaknya
sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma
bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”,
katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan
nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku
sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain
kan. Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil
memelukku erat-erat. Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan
Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti
ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi
main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi
dengan penuh gairah. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuman dan
berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur, kutelentangkan. Bu Tadi
mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia memakai daster dengan kancing
yang berderet dari atas ke bawah.
Kubuka kancing dasternya satu per satu
mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya
yang sudah lepas kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang putih
menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang
menutupi vaginanya yang nyempluk itu aku pelorotkan.
Aku benar-benar menikmati keindahan
tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan
celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak
terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah. Benar-benar membuatku
menelan ludah.
Wajah yang ayu, buah dada yang putih
menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka,
kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan
lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik
di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh gairah. Aku tidak
peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes
banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan
dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya.
Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya
yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam
vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku.
Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih.
Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin
di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya
lirih yang merangkulku kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam penisku ke
vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim
istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa
menjalar kesuluruh tubuhku.
Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga
sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia merangkul
kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku
masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali
sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku.
Kucabut penisku dan aku terguling di
samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di
atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya
adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang
laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang
sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test
apakah Papa masih joos apa tidak.
Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih
joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama
adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis. Aku diam saja.
menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh
penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta
kasih kami malam itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah
anakku yang kedua di rahim istri gelapku ini?
No comments:
Post a Comment